31 Desember 2009

Ya Ukthi..., Jauhilah Tabarruj...!

Apa itu Tabarruj...?
Tabarruj yakni bila "seorang wanita menampakkan perhiasannya dan kecantikannya serta terlihat bagian-bagian yang seharusnya wajib ditutupi, dimana bagian-bagian itu akan memancing syahwat pria." [ Fathul Bayan 7 / 274 ]
Allah Azza wajalla tentang permasalahan ini bersabda dalam Surah Al-Ahzab:
(٣٣) ~ وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ¯
artinya:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kalian bertabarruj seperti bertabarruj- nya wanita jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul- Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [QS Al- Ahzab : 33 ]
------------------------
Imam Adz~Dzahabi berkata dalam "Al~Kaba`ir" yakni "Di antara perbuatan yang menyebabkan para wanita mendapat laknat adalah menampakkan perhiasan emas dan permata yang ada di balik pakaiannya, memakai misk, anbar (nama sejenis minyak wangi) dan parfum jika keluar dari rumah, memakai pakaian- pakaian yang dicelup, sarung- sarung sutera dan penutup kepala yang pendek, bersamaan dengan itu dia memajangkan pakaian, meluaskan dan memanjangkan ujung lengan pakaian. Semua itu termasuk tabarruj yang Allah murkai. Allah murka kepada pelakunya di dunia dan akhirat. Karena perbuatan-perbuatan ini yang banyak dilakukan wanita, Rasulullah Shalallohu`alaihi wasallam bersabda:
"....... Aku memandang ke neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita."
Hadits ini diriwayatkan oleh :
1 . - Bukhari dalam kitab Bad'ul Khalq bab Maa Ja'a fi Shifatil Jannah (kitab 59 bab 8).
2 . - Tirmidzi dalam kitab Shifatil Jahannam bab Maa Ja'a Anna Aktsara Ahli Nar An Nisa' (kitab 40 bab 11 hadits ke-2602 ), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 2098 dari Ibnu Abbas.
3 . - Ahmad 2 /297 dari Abu Hurairah. Dan hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami' 1030.
Dari Imran bin Hushain berkata : "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
"Sesungguhnya penghuni Surga yang paling sedikit adalah para wanita....' "
(HR. Muslim 95 , 2738 . An Nasa'i 385)
Saya (Syaikh Al~Albani, pent.) berkata: "Islam telah bersikap keras dalam memperingatkan ummatnya dari perbuatan tabarruj ini hingga menyandingkannya dengan kesyirikan, zina, mencuri dan perbuatan haram lainnya. Itu terjadi ketika Nabi Shalallohu`alaihi wasallam membai`at para wanita agar mereka tidak melakukan hal-hal itu. Abdullah bin `Amr radhiyallahu`anhu berkata: Umaimah binti Ruqaiqah datang kepada Rasulullah Shalallohu`alaihi wasallam untuk berbai`at kepada beliau, maka beliau berkata:
"Saya akan membai'atmu untuk engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, jangan engkau mencuri, berzina, membunuh anakmu, melakukan kebohongan yang engkau buat antara hadapanmu dan antara dua kakimu, jangan meratap dan jangan bertabarrujnya jahiliyyah dahulu."
Ketahuilah, bukan termasuk perkara terlarang sedikitpun jika pakaian wanita yang dia pakai berwarna putih atau hitam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian wanita yang komit terhadap Sunnah.
Itu dengan alasan :
® Pertama : Sabda Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam yang berbunyi: " Parfum wanita adalah yang jelas warnanya dan lembut harumnya... "
® Kedua : Pengalaman para wanita sahabat, dengan kisah sebagai berikut :
1 : Dari Ibrohim An Nakha'i bahwa dia masuk bersama Alqamah serta Al Aswad kepada isteri - isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia melihat mereka menyelimuti diri mereka dengan pakaian berwarna merah.
2 : Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata; Aku melihat Ummu Salamah mengenakan jilbab dan berselimut dengan pakaian yang dicelup ddengan warna mu`ashfar (campuran antara kuning dan merah).
3 : Dari Al qosim, yaitu Ibnu Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq dia berkata bahwa 'Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan mu'ashfar, padahal dia waktu itu sedang ihram."
( Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah 120-123 dengan sedikit ringkasan).
-----------------------
Disadur dari Buletin Islamiy Al- Minhaj, edisi I /I Rubrik "Mar`ah Sholihah"

Selengkapnya...

10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan ('ied) kaum muslimin ada dua yaitu 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
"Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, 'Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.'"[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan ('ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts 'Ilmiyyah wal Ifta', komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, "Yang disebut 'ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid'ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang mengada- adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang- orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir."[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru- niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mewanti- wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ». فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ. فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
"Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta." Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam-, "Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?" Beliau menjawab, "Selain mereka, lantas siapa lagi?"[4]
Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ. قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
"Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya." Kami (para sahabat) berkata, "Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?" Beliau menjawab, "Lantas siapa lagi?" [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, "Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro' (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini."[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur'an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma').[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang- orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. "Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya", demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, "Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik."
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas'ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas'ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
"Demi Allah, wahai Abu 'Abdurrahman (Ibnu Mas'ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan."
Ibnu Mas'ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
"Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya." [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma').
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, "Adapun memberi ucapan selamat pada syi'ar-syi'ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama . Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, 'Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu', atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya." Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid'ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta'ala."[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik- detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1 , jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na'udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, "Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat."[11]
Adz Dzahabi -rahimahullah- juga mengatakan, "Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa)."[12]
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
"Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir."[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
"Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam."[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang- orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo'a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya."[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, "Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!"[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
"Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian."[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
"Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain."[18]
Ibnu Baththol mengatakan, "Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, "Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut"."[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar- besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta'ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros- pemboros itu adalah saudara- saudara syaitan." (Qs. Al Isro': 26- 27)
Ibnu Katsir mengatakan, "Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: "Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros- pemboros itu adalah saudara- saudara syaitan." Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas mengatakan, "Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar." Mujahid mengatakan, "Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan)." Qotadah mengatakan, "Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan."[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
"Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya." [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang- buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, "(Ketahuilah bahwa) menyia- nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya."[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta'ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
"Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?" (Qs. Fathir: 37 ). Qotadah mengatakan, "Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia."[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
"Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali." (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id , dipublish ulang oleh doelatif.blogspot.com

Selengkapnya...

30 Desember 2009

Kabut Beracun itu Bernama Valentine's Day

Oleh : al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

14 Februari adalah hari yang sangat istimewa bagi para pendewa Valentine's Day. Pada hari itu mereka mengungkapkan rasa cinta dan sayang kepada orang-orang yang diinginkan. Ada yang menyatakan perasaannya kepada teman, guru, orang tua, kakak atau adik, dan yang paling banyak adalah yang menyatakan kepada kekasihnya. Pada hari itu pula mereka mengirimkan kartu atau hadiah bertuliskan " Be my Valentine" (Jadilah Valentine-ku) atau sama artinya "Jadilah Kekasihku".
Di Indonesia, sejak era 1980-an, perayaan Hari Valentine ini makin memprihatinkan. Jika kita masuk toko buku atau semisalnya di bulan Februari, akan tampak rak-rak yang berjajar berisikan beragam kartu ucapan Valentine's Day. Tak mau kalah, toko-toko souvenir pun mulai menjajakan aneka kado bertema Valentine's Day. Mall dan supermarket juga menghias seluruh ruangan dengan warna- warna pink dan biru lembut, dengan hiasan-hiasan berbentuk hati dan pita di mana-mana. Hampir semua media cetak dan elektronik pun jadi penggesa program misterius ini.
Dengan berfikir sedikit saja kita dapat mengetahui bahwa perayaan 'aneh' ini tidak lepas dari trik bisnis para pengusaha tempat hiburan, pengusaha hotel, perangkai bunga, dan lainnya. Akhirnya jadilah perayaan Valentine sebagai perayaan bisnis yang bermuara pada perusakan akidah dan akhlak pemuda Islam (khususnya). Saatnya kita bertanya pada diri kita masing- masing, apa yang sudah kita lakukan dalam penyelamatan generasi penerus kita.
Sekilas Sejarah Valentine's Day
Ribuan literatur yang menyebutkan sejarah Hari Valentine masih berbeda pendapat. Ada banyak versi tentang asal-usul perayaan Valentine ini. Yang paling populer adalah kisah Valentinus (St. Valentine) yang diyakini hidup pada masa Claudius II yang kemudian menemui ajal pada 14 Februari 269 M. Namun kisah ini pun ada beberapa versi lagi.
Yang jelas dan tidak memiliki silang pendapat adalah kalau kita menilik lebih jauh lagi ke dalam tradisi paganisme (dewa- dewi) Romawi Kuno. Pada waktu itu ada sebuah perayaan yang disebut Lupercalia. Di dalamnya terdapat rangkaian upacara penyucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama dipersembahkan untuk Dewi Cinta, Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk bersenang- senang dan menjadi objek hiburan.
Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan Dewa Lupercalia terhadap gangguan serigala. Selama upacara ini, kaum muda memecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dipecut karena menganggap pecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur. Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama- nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I. Kemudian agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Galasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama saint Valentine's Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari.
Jati diri St. Valentine sendiri masih diperdebatkan sejarawan. Saat ini, sekurang-kurangnya ada tiga nama Valentine yang meninggal pada 14 Februari. Di antaranya ada kisah yang menceritakan bahwa kaisar Caludius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat di medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda menikah. Tindakan kaisar itu mendapatkan tantangan dari St. Valentine yang secara diam- diam menikahkan banyak pemuda sehingga ia pun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M.
Dapat kita tarik beberapa kesimpulan:
1. Valentine's Day berakar dari upacara keagamaan ritual Romawi Kuno untuk menyembah dewa mereka yang dilakukan dengan penuh kesyirikan.
2 . Upacara yang biasa dilaksanakan pada 15 februari tersebut pada tahun 496 oleh Paus Galasius I diganti menjadi 14 Februari.
3. Agar dunia menerima, hari itu disamarkan dengan nama "hari kasih sayang" yang kini telah tersebar diberbagai negeri, termasuk negeri-negeri Islam.
Jangan Ikuti Budaya Kafir
Begitukah wahai saudaraku seiman, Hari Valentine berasal dari zaman Romawi yang seluruhnya tidak lain adalah bersumber dari paganisme syirik, penyembahan berhala, dan penghormatan kepada pastor. Selain itu, perayaan Valentine's Day adalah salah satu makar orang-orang Yahudi yang diselundupkan ke dalam tubuh unat Islam supaya diikuti. Jadi, perayaan Valentine's Day adalah salah satu acara yang diadakan orang-orang kafir dan orang- orang yang bergelimang dosa dalam rangka berbuat maksiat, mengumbar syahwat, dan memenuhi hawa nafsu belaka.
Di Bandung 12 Februari 2005, Studio Carton Multi Kreasi menggelar acara lomba menjijikkan yang diadopsi dari Amerika [ Harian Pikiran Rakyat 13 Februari 2005 ]. Arini dari Muri menyatakan bahwa lomba serupa pernah digelar pada Desember 2001 di New York, AS. Mengapa masih banyak pemuda- pemudi Islam tertipu dan ikut- ikutan membeo budaya orang- orang kafir tersebut? Ingatlah wahai kaum muslimin, musuh- musuh Islam selalu berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan kalian dari ajaran agama kalian! Alloh berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: 'Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)."...(QS. Al-Baqoroh [2 ]: 120)
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Sungguh kalian akan mengikuti sunnah perjalanan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehingga mereka memasuki lubang dhab (hewan sejenis biawak di Arab). Mereka berkata, "Wahai Rasulullah apakah mereka Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka?" (HR. Bukhari 7325 dan Muslim 2669)
Syaikh Sulaiman bin Abdulloh Alu Syaikh rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan mukjizat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena sungguh mayoritas umatnya ini telah mengikuti sunnah perjalanan kaum Yahudi dan Nasrani dalam gaya hidup, berpakaian, syi'ar-syi'ar agama, dan adat-istiadat. Dan hadits ini lafazhnya berupa kabar yang berarti larangan mengikuti jalan- jalan selain agama Islam." [ Taisir Aziz al-Hamid hlm. 32]

Menyoroti Valentine's Day
Setiap Februari menjelang, banyak remaja Indonesia yang notabene mengaku beragama Islam ikut-ikutan sibuk mempersiapkan perayaan Valentine. Walau sudah banyak yang mendengar bahwa Valentine adalah salah satu hari raya umat Kristiani yang mengandung nilai-nilai akidah Kristen, namun hal ini tidak mereka pedulikan. Bisakah dibenarkan sikap dan pandangan seperti itu?
Lajnah Da'imah Arab Saudi pernah ditanya tentang perayaan Valentine's Day, mengucapkan ucapan selamat, memberikan hadiah, dan menyediakan alat-alat untuknya, lantas dijawab oleh Lajnah:
"Dalil dalil yang jelas dari al- Qur'an dan sunnah serta kesepakatan ulama salaf telah menegaskan bahwa perayaan dalam Islam hanya ada dua, Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun perayaan-perayaan lainnya yang berkaitan dengan tokoh, kelompok, atau kejadian tertentu adalah perayaan yang diada-adakan [Al-Hafizh Ibnu Rojab rahimullah berkata: "Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal sebagaimana dilakukan oleh ahli kitab sebelum kita melainkan berdasarkan syari'at dan dalil." (Fathul- Bari: 1 /159 , Tafsir Ibnu Rajob: 1 /390)] . Tidak boleh umat Islam merayakannya, menyetujuinya, menampakkan kegembiraan padanya, atau membantu kelancarannya karena hal itu berarti melanggar hukum Alloh yang merupakan suatu tindak kezaliman. Dan bila perayaan tersebut merupakan perayaan orang kafir maka maikn parah dosanya sebab hal itu merupakan tasyabbuh (menyerupai) mereka dan termasuk bentuk loyalitas kepada mereka, sedangkan Alloh dalam al-Qur'an yang mulia telah melarang kaum mukminin menyerupai orang-orang kafir dan loyal kepada mereka. Juga, telah shohih bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
و من تشبه بقوم فهو منهم
"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum tersebut." (HR. Abu Dawud: 4031 , Ahmad: 2 /50 , 92 , dan dishohihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Irwa'ul-Gholil: 1269)
Perayaan Valentine's day termasuk hal di atas karena termasuk perayaan penyembah berhala dan umat Nasrani. Maka tidak boleh umat Islam yang beriman kepada Alloh dan hari akhir ikut merayakannya, menyetujuinya, dan mengucapkan selamat untuknya. Bahkan yang wajib adalah meninggalkannya dan menjauhinya sebagai ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya serta menjauhi sebab kemurkaan Alloh. Sebagaimana pula diharamkan membantu semaraknya acara ini atau perayaan-perayaan haram lainnya baik dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, mensponsori, dan sebagainya karena semua itu termasuk tolong-menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Alloh berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...(QS. Al-Ma'idah [5 ]: 2) [ Fatawa Lajnah Da'imah Lil- Buhuts Ilmiyyah wal-Ifta' : 21203 tgl. 22 /11 /1420.]

Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah menyebukan beberapa dampak negatif perayaan Valentine's Day. Beliau berkata dalam fatwa yang beliau tanda tangani bertanggal 5 Dzulqo'dah 1420 H:
"Perayaan ini tidak boleh karena alasan berikut:
Pertama. Valentine's Day hari raya bid'ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari'at Islam.
Kedua. Merayakan Valentine's Day dapat menyebabkan cinta yang semu.
Ketiga. Menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salafush-sholih radhiyallahu 'anhum.
Maka tidak halal melakukan ritual hari raya dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah, ataupun lainnya. Hendaklah setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, bukan menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut- ikutan." [ Majmu' Fatawa wa Rosa'il kar. Syaikh Ibnu Utsaimin: 16 / 199-200 . Lihat pula Fatawa Ulama' Baladil-Haram hlm. 1022- 1024 dan as-Sunan wal- Mubtada'at fil-A'yad hlm. 52 kar. Dr. Abdurrohman bin Sa'ad asy- Syisyri.]

Dampak buruk lainnya, terhapuslah nilai-nilai Islam serta memperbanyak jumlah mereka dengan mendukung dan mengikuti agama mereka.
Alhasil, hendaklah kaum muslimin sekarang ini mengetahui dan berhati-hati terhadap propaganda yang diserukan oleh orang-orang kafir yang berusaha menjauhkan kaum muslimin dari ajaran Islam dan melegalkan ajarannya yang sesat lagi menyesatkan.
Valentine, Hari Cinta?
Dikatakan, Valentine itu hari untuk menyebarkan kasih sayang dan cinta. Benarkah demikian? Salah, bahkan pernyataan itu sungguh memperihatinkan! Bukankah dengan demikian seolah-olah Islam tidak mengenal cinta kasih, padahal dalam Islam ajaran cinta kasih memiliki kedudukan tersendiri dengan skala prioritas sebagaimana tercantum dalam QS. al-Baqoroh [2 ]: 165 , at- Taubah [9 ]: 24 , al-Fath [48 ]: 29 , dan al-Ma'idah [5 ]: 54.
Kelihaian dan kelicikan musuh Islam untuk menipu umat Islam patut diacungi jempol. Valentine's Day yang berbau syirik pun bisa terbungkus dan terpoles rapi dan digandrungi oleh generasi muda Islam yang tidak memiliki kekuatan Ilmu agama.
Sesungguhnya cinta dalam Valentine's Day hanyalah cinta semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Oleh karenanya, perhatikanlah bagaimana Valentine's Day bukan hanya diingkari oleh para pemuka Islam melainkan juga oleh pemuka agama-agama lainnya. Di India misalnya, pernah diberitakan bahwa sejumlah aktivis dan pemuka agama Hindu berkumpul di Bombay pada Sabtu, 14 Februari 2004. Dengan lantang mereka menyerukan agar tidak ikut-ikutan merayakan Hari Valentine yang menganjurkan dekadensi moral dan merusak tradisi India. Seorang aktivis berteriak: "Valentine's Day bukan bagian dari kepribadian dan tradisi agama kita. Selain itu, apa yang diajarkan oleh Valentine's day itu sungguh-sungguh akan merusak tatanan nilai dan norma kehidaupan bermasyarakat warga India. Janganlah ikut- ikutan Barat!!" [Kantor Berita Reuters 12 Februari 2005]

Kesimpulan
Valentine's Day merupakan hari raya orang kafir yang penuh kesyirikan. Tidak boleh umat Islam ikut-ikutan merayakannya, dan membantu memeriahkannya dengan memperdagangkan alat- alat yang digunakan. Wajib umat Islam menghindari kemurkaan Alloh. Allohu A'lam. []
[Sumber: Majalah Al Furqon, edisi 6 th. Ke-8 , Muhorram 1430 H (Jan. '09). Dicuplik dari http://imtri.co.nr]
Ditulis oleh abu salma
Kategori: Ghazwul Fikri , wala' dan baro'

Selengkapnya...

Awali Persatuan Umat Islam Dengan Meluruskan Shaf!"

Perintah untuk memperbagus lurusnya shaf (barisan)

Dari Abû Hurairoh Radhiyallâhu 'anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam bersabda :
أَحْسِنُوْا إِقَامَةَ الصُّفُوْفِ فِيْ الصَّلاَةِ
"Perbaguslah lurusnya shaf (barisan) ketika sholat" (HR A h mad di dalam Musnad-nya dan dishahîhkan oleh Syaikh al- Albânî di dalam Shahîhat- Targhîb wat Tarhîb: 499)
Bagaimana cara memperbagus lurusnya shaf?
Hadits Jâbir bin Samuroh Radhiyallâhu 'anhu menjelaskan hal ini. Beliau berkata : "Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam keluar menemui kami dan berkata :
مَالِيْ أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيْكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابَ خَيْلِ شُمُسٍ, أُسْكُنُوا فِيْ الصَّلاَةِ
"Aku tidak pernah melihat kalian mengangkat-angkat tangan kalian, seakan-akan seperti ekor kuda liar saja. Tenanglah kalian di dalam sholat (jangan bergerak)."
Jâbir berkata kembali : kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wa Sallam keluar menemui kami (pada lain waktu)

dan melihat kami sedang bergerombol, lantas beliau bersabda :
مَالِيْ أَرَاكُمْ عَزِيْنَ
"Aku tidak pernah melihat kalian bergerombol?!"
Jâbir melanjutkan : kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wa Sallam keluar menemui kami sembari mengatakan :
أَلاَ تَصُفُّوْنَ كَمَا تَصُفُّ المَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا
"Kenapa kalian tidak berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?"
Kami berkata : "Wahai Rasulullah, bagaimanakah berbarisnya Malaikat di hadapan Rabb mereka?"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam menjawab :
يَتُمُّوْنَ الصُّفُوْفَ الأَوَّلِ وَيَتَرَاصَّوْنَ فِيْ الصَّفِّ
"Mereka menyempurnakan shaf/barisan yang paling awal sembari merapatkan barisannya." (HR Muslim : 430)
Jadi, memperbagus shaf itu tidak akan terwujud melainkan dengan menyempurnakan dan merapatkan barisannya.
Mari kita amati realita yang ada di hadapan kita, yaitu kebesaran para tentara angkatan darat beserta pasukan dan kekuatannya dari aspek militer, begitu bagus dan teraturnya pola barisan mereka. Anda tidak dapati adanya kebengkokan maupun cela padanya. Jarak satu dengan lainnya teratur rapi, sungguh pemandangan yang sungguh indah. Coba Anda perhatikan, orang yang mengamatinya, mereka sangat interes dan terkagum-kagum dibuatnya.
Adapun di sekolahan, jangan Anda tanyakan bagaimana perhatian mereka yang begitu besar di dalam masalah meluruskan, merapikan dan mengatur barisan. Bukankah para pemakmur Masjid itu seharusnya adalah orang yang lebih utama di dalam memberikan perhatian di dalam mengatur shaf dan merapatkan barisan, sebagaimana malaikat berbaris di hadapan Rab mereka Sub h ânahu wa Ta'âlâ?!
Kita tidak akan masuk surga sampai kita meluruskan shaf
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam telah bersumpah, bahwa kita tidaklah dikatakan beriman, dan kita tidak akan bisa masuk surga sampai kita saling mencintai di jalan Alloh Ta'âlâ. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abû Hurairoh Radhiyallâhu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam bersabda :
"Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidaklah dikatakan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai?! Sebarkanlah salam di tengah- tengah kalian." (HR Muslim : 54)
Kecintaan ini tidak akan mudah jika tanpa merapatkan dan meluruskan shaf. Sebab Nabi Shallallâhu 'alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa ketidaklurusan shaf di dalam sholat itu, memicu perselisihan hati.
Kesimpulannya adalah, bahwasanya keimanan, surga, kecintaan dan persatuan, kesemuanya ini tidak akan mudah diraih melainkan dengan meluruskan dan merapatkan shaf.
Perhatian kita terhadap segala sesuatu yang bersifat lahiriah tidak lain adalah bentuk ketaatan, apalagi masalah meluruskan shaf
Sungguh aneh kita ini, bagaimana kita bisa menaruh perhatian terhadap lahiriah perkara duniawi sedangkan kita tidak mau memperhatikan lahiriah urusan agama kita?! Saya tidak melihatnya melainkan hal ini berasal dari syaithan.
Saya tidak tahu apa yang akan mereka perbuat. Sekiranya ada nash-nash (dalil) yang mengharamkan untuk merapatkan dan meluruskan shaf, niscaya syaithan-syaithan dari golongan jin dan manusia akan berbondong-bondong untuk merapatkan shaf. Rapat dan lurusnya tidak akan pernah Anda lihat ada satupun yang menyamainya! Demikianlah keadaan mereka ini, Wallôhu a'lam. Jika tidak, lantas dimanakah segala sesuatu yang Alloh Ta'âlâ haramkan di dalam Kitab-Nya dan as-Sunnah, tidak Anda dapati di tengah-tengah manusia sebagai sesuatu yang lumrah dan dicintai?!
Lihatlah diri kita sendiri, bagaimana kita begitu mencintai lahiriah duniawi. Sungguh, kita akan lebih mencintai orang yang kaya walaupun ia seorang yang bodoh ketimbang kita mencintai orang yang fakir padahal ia berilmu! Kita lebih memilih berteman dengan orang yang kuat dan kita tinggalkan orang yang lemah!
Adakalanya, seorang manusia mau menginfakkan hartanya dalam jumlah besar hanya untuk suatu hal yang remeh supaya dikatakan : "Fulan telah berbuat ini dan itu"! Terkadang, orang yang bodoh dapat menyebabkan kita tertawa oleh sebab pakaiannya yang bagus, seorang penipu dapat mengelabui kita dengan tutur katanya yang manis dan seorang munafik dapat memikat kita dengan kepandaiannya bersilat lidah.
Adapula bentuk formalitas bagi para tamu dan pengunjung yang tidak boleh tidak, harus ada. Bagi yang menyelisihinya akan dicela dan dianggap aneh. Jika ada suatu kaum berada di majelis dan ada seseorang yang tidak berdiri (untuk menyambut dan menghormati mereka), mereka memprotes dan menghukumnya, sebab ia dianggap tidak menghormati dan menghargai mereka, dan mereka menganggapnya sebagai orang yang tidak faham etika bermasyarakat.
Jika dikatakan kepada mereka, "berjabat tangan dengan wanita asing dan wanita yang halal dinikahi (non mahram) adalah haram hukumnya." Mereka menjawab, "hati-hati kami ini terjaga, bersih dan suci. Yang jadi patokan bukanlah masalah lahiriah seperti itu!" Namun, apabila ada seorang pemuda fakir yang bagus agama dan akhlaknya, bermaksud menikahi anak-anak puteri mereka, maka masalah lahiriyah menjadi patokan dengan begitu saja. Mereka tidak lagi butuh kepada bathin, harga diri dan kesucian hati pemuda itu. Yang penting, ia haruslah orang yang memiliki harta, jabatan dan kedudukan.
Apabila mereka diminta untuk merapatkan dan meluruskan shaf, mereka mengatakan, "yang menjadi ukuran adalah bathin, bukanlah dari faktor fisik." Akan tetapi, keimanan mereka terhadap faktor fisik muncul ketika ada seseorang yang bermaksud meminang puteri mereka. Mereka akan menetapkan beberapa hal, mereka akan memasang tarif mahal untuk mahar, memperketat persyaratan, pakaian harus begini dan begitu, perabotan haruslah dengan harga yang selangit, pestanya haruslah meriah dan menarik sehingga mendapatkan pujian orang-orang dan tidak dicemooh!
Maka, dimanakah kebajikan bathin terhadap Tuhanmu dan keimananmu kepada-Nya tatkala Anda diseru untuk merapatkan shaf?! Dan dimanakah kekufuran mereka terhadap perkara- perkara fisik untuk meluruskan dan mengatur shaf? Ataukah ini merupakan hawa nafsu?! Semoga Alloh membinasakan hawa nafsu.
سُبْحَانَ رَبِّكَ كَيْفَ يَغْلَبُكَ الهَوَى سُبْحَانَهُ إِنَّ الهَوَى لَغَلُوْبُ
Maha Suci Rabb-mu bagaimana kamu sampai dikalahkan oleh nawa nafsumu
Maha Suci Diri-Nya sesungguhnya hawa nafsu itulah yang pasti akan terkalahkan
Apa seperti ini sikapmu wahai kaum? Perkara lahiriah yang Alloh kehendaki, cintai dan perintahkan, serta ia ancam orang yang meninggalkannya dengan malapetak dan bencana, namun Anda menjadikannya sebagai bahan senda gurau dan main-main?! Dan perkara- perkara lahiriah yang Alloh Sub h ânahu tidak izinkan, Anda malah menjadikannya sebagai syariat dan agama? Kejahatan apakah gerangan yang telah Anda lakukan, dan kesalahan apakah gerangan yang Anda perbuat?
Sungguh kami telah mengimani masalah meluruskan shaf ini dengan penuh keimanan. Hanya saja keimanan ini ada di luar masjid, bukan di dalamnya. Tidakkah anda melihat bersamaku bagaimana lurusnya barisan tentara dan di sekolah?!
Di sini ada yang mengatakan, "sesungguhnya, keteraturan barisan (di ketentaraan dan sekolahan) merupakan bentuk simbol kekuatan, ketertiban, ketaatan dan kemajuan! Namun keteraturan barisan di masjid hanyalah sebuah bentuk lahiriah belaka, masalah kulit yang remeh, yang tidak berguna dan tidak berfaidah!"
Untuk menyelesaikan urusan muamalah kita di kantor dan yayasan secara cepat, dan supaya terhindar dari problematika dan perselisihan, memang harus ada suatu peraturan dan keseragaman. Adapun perlunya kita mengimplementasikan hal ini di dalam Masjid, adalah untuk menghindarkan kita dari perpecahan dan perselisihan, yang mana hal ini sudah tidak perlu lagi ditanyakan, baik kepada orang yang lupa atau orang yang masa bodoh. Karena Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam telah menjanjikan hal ini.
Tidak meluruskan shaf akan menyebabkan perselisihan hati
Dari Abû Mas'ûd Radhiyallâhu 'anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam bersabda :
اسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُوْا قُلُوْبَكُمْ
"Luruskanlah shaf dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan hati kalian akan berselisih." (HR Muslim : 432)
Kalimat pertama dalam hadits, yaitu "luruskanlah", merupakan bentuk kalimat imperatif (perintah), dan kalimat imperatif itu menunjukkan kewajiban sampai ada qorînah (indikasi) lain yang memalingkan kewajibannya. Sedangkan indikasi yang menunjukkan kewajibannya ada banyak, diantaranya adalah hadits sebelumnya yang berbunyi : "Perbaguslah lurusnya shaf (barisan) ketika sholat."
Diantaranya juga adalah penggalan hadits yang Anda lihat di atas, yaitu hadits yang melarang perselisihan, sebagaimana dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wa Sallam: "dan janganlah kalian berselisih". Kalimat negasi/larangan menunjukkan keharamannya sampai ada indikasi yang memalingkannya. Dalam hadits ini, terhimpun kalimat perintah dan larangan sekaligus, yang mana satu dengan lainnya merupakan indikasi yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf dan memperingatkan dari tidak mematuhi perintahnya. Karena hal ini akan memicu perselisihan, sebagaimana di dalam hadits :
أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ فَوَاللهِ لَتُقِيْمَنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
"Luruskan shaf-shaf kalian. Dan demi Alloh, luruskanlah shaf-shaf kalian, atau jika tidak niscaya Alloh akan menjadikan hati kalian saling berseteru." (Sha h îh Sunan Abu Dâwud : 616)
Di dalam riwayat hadits yang lain :
أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
"atau Alloh akan menjadikan wajah-wajah kalian saling bertikai."
Huruf fa' (فَ) pada hadits kata takhtalifu (تَخْتَلِفُ) disebut dengan Fa` as-Sababiyah (yang menunjukkan sebab), sehingga makna hadits menjadi : perselisihan lurusnya shaf (tidak lurusnya shaf) di dalam sholat merupakan sebab berselisihnya hati.
Lantas, betapa lancangnya seseorang yang berkata bahwa meluruskan shaf dan hadits yang membicarakan tentangnya akan memecah belah umat! Apakah mereka berada di dalam keraguan tentang hal ini?! Padahal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam telah bersumpah kepada mereka dan beliau adalah orang yang jujur lagi dibenarkan, adakah kamu melihat mereka membenarkannya?
Nabi Shallallâhu 'alaihi wa Sallam telah menegaskan hal ini dengan banyak penekanan di dalam nash hadits di atas dan selainnya, diantaranya adalah adanya Lâm dan Nûn Taukîd ats-Tsaqîlah (huruf lam dan nun yang berfungsi superlatif) di dalam dua kata : tuqîm (luruskanlah) dan yukholif (memalingkan), kemudian meng-'athaf-kan (mengikutkan) taukîd (penegasan) dengan taukîd (penegasan), akan tetapi mereka pergi berlalu dengan mengabaikannya begitu saja. Bagaimana bisa mereka berijtihad padahal nash (dalil)- nya ada?!
Perkaranya tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan ijtihad mereka sampai merubah pemahaman yang benar lagi jelas. Padahal sesungguhnya, orang yang paling rendah pengetahuannya tentang fikih dan Bahasa Arab saja, sekiranya dia membaca hadits-hadits yang membicarakan masalah meluruskan shaf, niscaya dia akan dapat memahami bahwa tidak merapatkan dan meluruskan shaf, akan memicu perselisihan dan perpecahan hati.
Dari manakah mereka mendatangkan ijtihad seperti ini, yaitu mereka melarang dan mencegah, serta memerintahkan orang-orang untuk meninggalkan hadits yang berbicara tentang masalah meluruskan shaf supaya dapat mempersatukan hati?
Perselisihan ini tidaklah terlewatkan begitu saja dari perhatian Nabi Shallallâhu 'alaihi wa Sallam dan hal ini tidak layak bagi beliau, bahkan beliau 'alaihi ash-Sholâtu was Salâm adalah orang yang lebih mendahului kita di dalam memahami dan mengetahui hal ini, sebab "ucapan beliau tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (QS an- Najm : 4)
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam telah menyebutkan perselisihan ummatnya di dalam banyak nash/teks hadits dengan lafazh yang bervariasi. Diantaranya sabda beliau : "niscaya hati kalian akan berselisih", "atau Alloh akan menjadikan hati-hati kalian saling berselisih", "atau Alloh akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih." [2]

Kendati Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam mengetahui masalah perselisihan dan faktor penyebabnya serta beliau membencinya, beliau tidak mau berpaling dari perkara meluruskan shaf, agar kaum muslimin terbebas dari perdebatan dan perselisihan di dalamnya, kemudian agar mereka dapat menjaga diri dari perpecahan hati yang merupakan akibat dari perselisihan!
Kesemua hal ini, tidak beliau puji dan beliau tolak sedikitpun. Nabi 'alaihi ash-Sholâtu was Salâm adalah orang yang lebih mengetahui tentang kemaslahatan umat daripada kita, beliau lebih faham tentang mana yang urgen dan lebih diprioritaskan. Namun beliau tidak pernah alpa memperingatkan dari perselisihan yang timbul dari tidak lurusnya shaf. Yang ditetapkan, bahwa beliau tidak pernah meninggalkan masalah meluruskan shaf, tidak pernah ketinggalan untuk melakukannya dan tidak pernah berhenti memperbincangkannya.
Adapun orang yang berpandangan bahwa solusi yang benar adalah tidak meributkan masalah meluruskan shaf atau pembahasan yang semisal dengannya, namun yang utama adalah membincangkan masalah perjuangan memerangi musuh dan memerangi kejahatan dan kebiadaban mereka dengan berbagai bentuknya -dan kami tidaklah bermaksud meremehkan masalah ini-, maka keadaan orang ini adalah seperti orang yang beranggapan bahwa sholat itu lebih urgen ketimbang puasa dan selainnya, lantas ia mengingkari orang yang memperbincangkan masalah urgensi puasa, haramnya berinteraksi dengan riba, atau semisalnya, dengan alasan bahwa manusia saat ini banyak yang menyia-nyiakan dan melalaikan sholat.
Ini merupakan kesalahan yang besar, karena kewajiban itu ada banyak, bermacam-macam dan beraneka ragam. Seorang muslim dituntut untuk memenuhi kewajiban-kewajiban ini dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Tidak boleh bagi kita mengabaikan sebagiannya dan mengamalkan sebagiannya. Membenahi aqidah itu wajib, jihad di jalan Alloh juga wajib. Berdakwah itu wajib dan mewaspadai sepak terjang musuh juga wajib. Memerangi ghibah dan namimah adalah wajib, berbakti kepada orang tua dan meluruskan shaf juga merupakan perkara yang wajib.
Lantas, bagaimana mungkin kita bisa berjihad, menjaga dan membela agama sedangkan kita dalam keadaan berpecah belah dan bertikai satu sama lainnya?!
Mari kita perhatikan perselisihan dan pertikaian yang telah menjangkiti umat, sampai-sampai saudara kita para mujahidin - kendati sedikit dan jarang-, mereka juga saling berpecah belah dan berselisih.
Jangan kamu lupakan pula, bahwa syaithan yang menggerakkan penganut madzhab yang membinasakan, adalah syaithan atau sejenisnya yang tinggal di sela-sela barisan dan berdiri diantara celah barisan/shaf kaum muslimin. Mereka membuat hati menjadi saling berselisih dan jauh antara satu dengan lainnya agar senantiasa tidak dapat bersatu, agar kaum muslimin tidak mampu memberantas madzhab-madzhab yang menyimpang dan keyakinan-keyakinan yang menyeleweng. Hal ini disebabkan syaithan itu tahu bahwa meluruskan shaf dapat mempersatukan hati dan wajah. Apabila kaum muslimin telah bersatu dan saling mencintai, maka syaithan dari bangsa jin dan manusia sudah tidak memiliki kemampuan lagi (untuk memporakporandakan kaum muslimin), dan inilah yang diperkirakan dan ditakuti syaithan bakal terjadi.
Tidak meluruskan shaf akan menyebabkan kehancuran umat
Telah jelas bagi kita dari paparan hadits Nabi Shallallâhu 'alaihi wa Sallam sebelumnya yang tidak meninggalkan keraguan sedikitpun, bahwa ketidaklurusan shaf akan menyebabkan perselisihan yang nantinya dapat memicu kelemahan, kehancuran dan hilangnya kekuatan dan potensi umat. Tentang hal ini, Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan janganlah kamu saling berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu." (QS al-Anfâl : 46)
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa Sallam bersabda : "Janganlah kalian berselisih. Karena umat sebelum kalian, mereka berselisih dan menjadi hancur." (HR Bukhârî : 2410)
Dari perpaduan kedua nash di atas, maknanya menjadi : Luruskan shaf kalian dan jangan berselisih, yang nantinya akan menyebabkan kalian menjadi hancur, lemah dan hilang kekuatan kalian.
Adakah kita menginginkan kehancuran yang lebih besar daripada ini? Ataukah menanti kelemahan yang lebih dahsyat? Kita saat ini sedang dikerumuni oleh umat-umat selain Islam, sebagaimana mereka mengerumuni makanan di atas wadahnya. Inilah keadaan negeri kita yang dijajah, musuh-musuh Islam dengan tamaknya mengeksploitasi negeri kita tanpa sisa, kita hanya bisa termenung tanpa memiliki kemampuan dan kekuatan di antara umat yang ada. Tidak satupun yang kita dengar melainkan hanya keluhan dan rintihan untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan dari serangan musuh. Kita sendiri telah menjadi bergolong- golongan dan berkelompok- kelompok. "dan setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka." (QS al- Mu`minûn : 53)
Hati pun telah tercerai berai dan jihad telah ditinggalkan. Seakan- akan tidaklah tersisa bagi kita melainkan hanya sekedar perbincangan tentangnya belaka. Sampai kapan gerangan kita selalu berada di dalam perpecahan, perselisihan dan kehampaan seperti ini?! Adapun sekarang, tiba saatnya hati kita senantiasa khusyu' di dalam mengingat Alloh dan mempelajari agama kita! Adapun sekarang, wahai manusia pilihan dan terbaik, tiba saatnya kalian saling bersatu dan mencintai! Marilah kita terima masalah meluruskan shaf ini. Sebagai permulaan untuk mempersatukan hati kita dengan izin Alloh.
Aduhai, betapa bahayanya bersatu dengan syaithan, baik dari bangsa jin maupun manusia!
[1] Disarikan dari risalah Taswiyatu ash-Shufûf wa Atsaruhâ fî H ayâtil Ummah karya Syaikh H usain bin 'Audah al- 'Awâyisyah (Dâr Ibnu H azm, cet 1 , 1423)
[2] Di dalam an-Nihâyah, dikatakan : "maksudnya adalah setiap orang yang memalingkan wajahnya dari orang lain, akan menyebabkan terjadinya sikap saling membenci. Karena menghadapkan wajah dengan wajah itu berdampak terhadap rasa kasih sayang dan persatuan."
Ditulis oleh abu salma
Kategori: Fikih Islami , Tazkiyatun Nafsi

Selengkapnya...

27 Desember 2009

Kita Tidak Mungkin Bersatu dengan Allah !!!

Membedah Kekeliruan Kaum Sufi
dalam Memahami Hadits Wali

disusun oleh

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

A. Pengantar
Sesungguhnya membela kemurnian agama dan membantah para ahli bid'ah dengan argumen dan hujjah merupakan kewajiban yang amat mulia dan landasan utama dalam agama. Oleh karenanya, para ulama salafush shalih lebih mengutamakannya daripada ibadah sunnah, bahkan mereka menilai bahwa hal tersebut merupakan jihad dan ketaatan yang sangat utama. Imam Ahmad pernah ditanya:
"Manakah yang lebih engkau sukai, antara seorang yang berpuasa (sunnah), shalat (sunnah), dan i'tikaf dengan seorang yang membantah ahli bid'ah?" Beliau menjawab: "Kalau dia shalat dan i'tikaf maka maslahatnya untuk dirinya pribadi , tetapi kalau dia membantah ahli bid'ah maka maslahatnya untuk kaum muslimi n, ini lebih utama." [1]


Di antara para ahli bid'ah yang tidak kalah bahayanya adalah kelompok Sufiyah yang memborong sekian banyak kesesatan dan penyimpangan yang beraneka ragam, di antara sekian kesesatan mereka yang paling berbahaya adalah aqidah wahdatul ( [2] ) wujud (Manunggaling Kawula Gusti/bersatunya Tuhan dengan hamba), sebuah aqidah yang bertentangan seratus persen dengan pokok-pokok ajaran Islam, bahkan menghancurkan persendiannya baik dalam aqidah, ibadah, akhlaq, dan sebagainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Bangkit membantah mereka (ahli wahdatul wujud) merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah perusak akal dan agama manusia, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari jalan Alloh. Bahaya mereka terhadap agama melebihi bahaya para penjajah dunia seperti perampok dan pasukan Tatar yang hanya merampas harta tanpa merusak agama." [3]

Mungkin sebagian kita ada yang bergumam :
"Mengapa aqidah wahdatul wujud ini harus dipermasalahkan? Bukankah aqidah itu hanya ada pada beberapa tokoh zaman dulu saja semisal Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, Ibnu Sab'in, dan sebagainya?! Bukankah aqidah itu sudah hilang dari permukaan bumi di masa kini?! Lantas mengapa perlu dibahas seperti ini?! Bukankah ini hanya sia-sia belaka?!"
Kami jawab :
"Tenanglah saudaraku! Jangan anda gegabah menilai seperti itu, bukalah mata anda lebar-lebar niscaya anda akan mengetahui (walau terkadang terselubung) betapa banyaknya pengibar bendera aqidah rusak ini di negeri kita dari para kyai, habib, penulis, aktivis, bahkan diajarkan di kuliah- kuliah agama seperti IAIN , contohnya.
Barangkali untuk lebih menenangkan hati, tidak mengapa kita nukil sebuah contoh - sekalipun hati ini sebenarnya terasa berat untuk menukilnya ( [4] ) -. Masih terngiang-ngiang di telinga saya ucapan keji Abdul Muqsith Ghazali MA , kawan Ulil Abshar dalam debat buku "Ada Pemurtadan di IAIN",katanya:
" Anjing akbar , tidak ada yang salah dengan pernyataan itu. Apa yang salah?! Sama sekali tidak ada yang salah, Akbar Tanjung, Anjing Akbar, Sekolah Akbar . Tidak ada yang salah. Itu kalau diniati bahwa anjing itu adalah Alloh ."
Lebih lanjut, dia mengatakan:
"Kalau dia menemukan sifat jamal dan kamal (keindahan dan kesempurnaan) dalam anjing itu maka enggak salah, justru dia akan naik maqamnya (kedudukannya), seperti Ibnu Arabi ( [5] ) dalam kitabnya Fushus Hikam ( [6] ), dia menemukan takallufnya ketika berhubungan suami istri. Ini adalah pluralisasi penafsiran yang akan dipuji sejarah !!!"
Aduhai, alangkah persisnya hari ini dengan kemarin!! Bukankah ucapan di atas adalah warisan nenek moyang para tokoh Sufi yang sesat dan menyesatkan dahulu?!! Coba anda perhatikan ucapan seorang tokoh Sufi berikut:
وَمَا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إِلاَّ إِلَهُنَا
وَمَا اللَّهُ إِلاَّ رَاهِبٌ فِيْ كَنِيْسَةِ
Tiada anjing dan babi itu, melainkan Tuhan kita juga
Dan tiadalah Alloh itu kecuali rahib di gereja
Salah seorang sufi , Abul Husain an-Nuri tatkala mendengar anjing yang menggonggong , dia mengatakan:
"Labbaika wa Sa'daika" (Aku penuhi panggilanmu)." [7]

Maha Suci Alloh dari ucapan mereka!
Kemudian, jangan anda menyangka kalau mereka tidak memiliki argumen/dalil yang mendukung keyakinan sesat tersebut. Sungguh aneh bin ajaib memang, hampir tidak ada ahli bid'ah pun kecuali memiliki dalil untuk memperkuat kesesatan mereka. Demikian pula para penganut paham wahdatul wujud, mereka memiliki dalil - sekalipun lebih tepatnya disebut syubhat- dari al-Qur'an dan hadits untuk mendukung keyakinan tersebut, salah satunya adalah hadits wali yang akan menjadi tema bahasan kita kali ini. Namun, hal ini tak aneh kalau kita ingat ucapan Imam asy-Syathibi :
"Betapa sering engkau dapati ahli bid'ah dan penyesat umat mengemukakan dalil dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengan dalil-dalil tersebut. Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka di atas kebenaran !!" [8]

B. Teks Hadits
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِليَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. وَمَا زَالَ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يُبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Alloh berfirman: 'Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintai- Nya. Apabila Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, penglihatannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dia memegang dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Apabila dia meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan melindunginya. Dan tidaklah Aku bimbang akan sesuatu seperti kebimbangan-Ku dari mencabut nyawa seorang mukmin, dia benci kematian padahal Saya tidak ingin untuk menyakitinya (tetapi itu adalah kepastian).'"
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
"Hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang para wali.". [9]

Beliau juga mengatakan:
"Hadits ini sangat mulia dan merupakan hadits yang paling mulia tentang sifat wali." [10]

Demikianlah komentar indah terhadap hadits yang menjadi topik bahasan kita kali ini. Namun hal itu bukan berarti bahwa hadits ini selamat dari serangan dan hujatan, sebab kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hadits ini mendapat kritikan dari dua segi; sanad dan matannya secara bersamaan.
Sebagian kalangan ada yang mempermasalahkannya dari segi sanadnya, dan sebagian lagi ada yang salah paham terhadap matannya. Dari situlah, kami merasa terdorong untuk membahas hadits ini dari segi sanad dan matannya serta meluruskan kesalahpahaman tersebut. Semoga Alloh menjadikan kita semua termasuk wali-wali-Nya.
C. Sanad Hadits
Sebagian kalangan ada yang mengkritik hadits ini dari sanadnya, di mana memang pada sanadnya terdapat rawi yang dibicarakan oleh para ulama ahli hadits, yaitu Khalid bin Makhlad. [11]

Jawaban: ( [12] )
Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya (6502), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (1 /4), al- Baghawi dalam Syarh Sunnah (1248), Abul Qasim al- Mahrawani dalam al-Fawa'id al- Muntakhabah ash-Shihah (1 /3 /2), Ibnul Hamami ash-Shufi dalam Muntakhab min Masmu'atihi (1 /171), dan ketiganya menyatakan shahih, Rizqullah al-Hanbali dalam Ahadits min Masmu'atihi (1 /2), Yusuf bin Hasan an-Nabilsi dalam Ahadits as-Sittah al- Iraqiyyah (1 /26), al-Baihaqi dalam al-Asma' wa Shifat (491 ) dan az-Zuhud (2 /83) dari jalan Khalid bin Makhlad : Menceritakan kami Sulaiman bin Bilal : Menceritakanku Syarik bin Abdullah bin Abu Nimr dari Atha' dari Abu Hurairah ...
Sanad hadits ini lemah, dia termasuk beberapa hadits sedikit yang dikritik oleh para ulama terhadap Bukhari. Adz- Dzahabi mengatakan pada biografi Khalid bin Makhlad al-Qathawani setelah menyebutkan komentar para ulama ahli hadits tentangnya: "Hadits ini aneh sekali. Seandainya bukan karena kewibawaan Jami'us Shahih (Shahih Bukhari), niscaya saya akan memasukkannya termasuk munkarat Khalid bin Makhlad, sebab lafazhnya aneh dan ditambah lagi Syarik sendirian dalam riwayatnya padahal dia bukan seorang yang pakar..."
Ucapan ini dinukil secara ringkas oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11 / 292-293 ) lalu katanya: "Namun hadits ini memiliki beberapa jalur lain yang dengan terkumpulnya menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya." Kemudian beliau menyebutkan delapan jalur penguat.
Syaikh al-Muhaddits al- Albani berkomentar dalam ash- Shahihah (4 / 185-186 ): "Demikianlah ucapan al-Hafizh. Beliau telah memaparkannya secara panjang lebar. Hal itu sangat wajar, sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bukanlah suatu hal yang mudah untuk mencela keabsahannya hanya karena kelemahan pada sanadnya, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki beberapa penguat yang menguatkan dan mengangkatnya. Nah, apakah hadits ini termasuk di antaranya? Al-Hafizh telah memaparkan delapan penguat dan menetapkan bahwa dengan terkumpulnya jalan-jalan tadi menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya.
Menimbang, karena termasuk syarat diterimanya penguat adalah tidak terlalu lemah sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dalam ilmu musthalah hadits, sehingga kalau terlalu lemah maka tidak bisa terangkat; dan juga harus sempurna, sehingga kalau tidak sempurna pun tidak diterima, maka kita harus meneliti dalam beberapa penguat ini, apakah memenuhi dua persyaratan tersebut ataukah tidak."
Setelah membahas secara panjang lebar, beliau menyimpulkan di akhir bahasan (4 /190): " Kesimpulannya , kebanyakan penguat ini tidak bisa menguatkan hadits ini, ada yang karena sangat lemahnya dan ada pula karena ringkasnya (tidak sempurna), kecuali mungkin hadits Aisyah radhiyallahu 'anha dan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, di mana kalau keduanya digabungkan dengan sanad hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ini maka bisa terangkat kepada derajat shahih, insya Alloh. Dan telah dishahihkan oleh para ulama yang telah saya sebutkan di muka."
Barangsiapa yang ingin memperluas takhrij hadits ini, kami sarankan membaca Silsilah Ahadits ash- Shahihah (4 / 183-193 ) oleh al-Albani , karena beliau telah memaparkan jalur- jalurnya dengan pembahasan yang jarang didapati di kitab lainnya. ( [13] )
D. Matan Hadits ( [14] )
Sebagian kalangan dari kaum Sufi berdalil dengan hadits ini untuk memperkuat aqidah rusak mereka yaitu " wahdatul wujud ", bahwa Tuhan bersatu dengan hamba , sebab Alloh mengkhabarkan bahwa dirinya adalah pendengaran hamba, penglihatannya, tangannya, dan kakinya. [15]

Jawaban:
Hadits ini tidak mendukung aqidah mereka secuil pun, bahkan sebaliknya malah membantah aqidah mereka ( [16] ) ditinjau dari beberapa segi:
1| Alloh mengatakan: "Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya." Dalam hadits ini Alloh menetapkan tiga wujud: diri-Nya, wali-Nya, musuh- Nya. Maka bagaimana kalian jadikan mereka satu dzat saja?!
2| Alloh mengatakan: "Tidaklah hamba-Ku melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hamba- Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintainya."
Jadi Alloh menetapkan adanya hamba yang mendekatkan diri kepada Alloh dengan kewajiban dan sunnah dan bahwasanya dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya sehingga Alloh mencintainya. Hal itu menunjukkan adanya hamba dan Rabb, Yang mencintai dan yang dicintai, yang beribadah dan Yang diibadahi. Lantas bagaimana kalian jadikan keduanya satu dzat saja ?!
3| Alloh mengatakan: "Apabila Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya..."
Kecintaan ini diraih oleh hamba setelah dia mendekatkan diri kepada Alloh dan setelah Alloh mencintainya. Adapun menurut keyakinan wahdatul wujud bahwa Alloh adalah hamba itu sendiri, baik setelah mendekatkan diri maupun sebelumnya.
4| Dalam hadits ini Alloh mengkhususkan keutamaan tersebut bagi wali-Nya tetapi dalam pandangan wahdatul wujud hal itu umum mencakup seluruh makhluk baik wali maupun musuh Alloh. Kalau demikian masalahnya, lantas apa keistimewaan wali ?!
5| Dalam hadits ini Alloh hanya menyebut pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki, tetapi mereka memperluasnya meliputi perut, paha, hidung dan sebagainya.
6| Di akhir hadits, Alloh berfirman: "Kalau dia meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan melindunginya." Hal ini sangat jelas bahwa di sana ada yang meminta dan ada Yang dimintai, ada yang meminta perlindungan dan ada Yang dimintai perlindungan. Semua ini berseberangan dengan aqidah wahdatul wujud.
Adapun makna hadits ini yang benar :
Sesungguhnya seorang hamba, apabila dia menunaikan perkara yang diwajibkan Alloh padanya kemudian berusaha menambahinya dengan perkara- perkara sunnah dengan segala kemampuannya, niscaya Alloh akan mencintainya dan menolongnya dalam segala urusannya, kalau dia mendengar maka dia pendengarannya mendapatkan bimbingan Alloh sehingga tidak mendengar kecuali kebaikan, tidak menerima kecuali kebenaran dan menolak kebatilan. Dan apabila dia memandang dengan penglihatannya, dia memandang dengan cahaya dan hidayah dari Alloh, sehingga dia memandang kebenaran dan mengikutinya, dan memandang kebatilan dan menjauhinya. Demikian pula apabila dia berjalan, maka dia berjalan dengan bimbingan Alloh sehingga dia berjalan dalam ketaatan kepada Alloh seperti mencari ilmu, jihad, dakwah, silaturrahmi dan sebagainya.
Walhasil, seluruh amalannya, kekuatannya, dan anggota badannya dalam hidayah Alloh, penjagaan-Nya dan taufiq-Nya. [17]

Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Apabila kecintaan dan pengagungan kepada Alloh memenuhi hati seorang hamba maka setiap apa pun selain-Nya akan terhapus dari hatinya, sehingga tidak tersisa pada diri hamba sesuatu pun dari hawa dan keinginannya kecuali sesuai dengan apa yang dicintai Alloh. Ketika itulah dia tidak berucap kecuali dengan mengingat-Nya, tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya, bila dia berbicara, berjalan, mendengar, melihat semuanya dengan bimbingan dari Alloh. Inilah maksud dari sabda beliau: 'Aku adalah pendengarannya, pandangannya, tangannya, dan kakinya.' Siapa pun yang menafsirkan selain ini, maka sesungguhnya dia mengisyaratkan kepada aqidah hulul dan wahdatul wujud yang Alloh dan Rasul-Nya berlepas diri darinya." [18]
Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: "Semua perumpamaan yang digambarkan oleh Nabi ini maksudnya adalah -Wallohu A'lam- bahwa Alloh memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan dengan anggota badannya tersebut, yakni Alloh memudahkannya dengan anggota badan tersebut untuk melakukan perbuatan- perbuatan yang dicintai oleh Alloh dan menjaganya dari terjerumus kepada perbuatan yang dibenci Alloh berupa mendengarkan ucapan batil dan sia-sia dengan pendengarannya, memandang hal yang haram dengan matanya, berjalan menuju keharaman dengan kakinya. Atau bisa jadi maksud hadits ini adalah lekasnya terkabulkannya do'a wali sebab usaha manusia itu adalah dengan empat anggota tubuh tersebut." [19]
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berkata: "Seorang yang sedikit saja memiliki bekal ilmu bahasa Arab tidak akan memahami bahwa maksud hadits ini bahwa Alloh adalah pendengaran manusia, penglihatannya, tangan, dan kakinya. Maha Suci Alloh dari ucapan mereka. Tetapi maksudnya adalah bahwa Alloh memberikan taufiq kepada para wali-Nya dalam setiap gerakan mereka disebabkan ketaatan mereka kepada-Nya." [20] Demikianlah makna hadits ini secara benar sebagaimana dipahami oleh para ulama ahli hadits semenjak dahulu hingga sekarang. Peganglah ucapan mereka dan cukuplah hal itu sebagai pedoman bagi kita.
إِذَا قَالَتْ حَذَامِ فَصَدِّقُوْهَا
فَإِنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَتْ حَذَامِ
Apabila Hadhami [21] berucap maka benarkanlah
Karena kebenaran pada dirinya.
E. Fawa'id Hadits ( [22] ) [Pelajaran yang Bisa Dipetik]
Hadits ini memiliki banyak faedah. Al-Hafizh asy-Syaukani menulis kitab khusus tentang penjelasan hadits ini berjudul Qathrul Walyi bi Syarhi Hadits Wali. Di antara faedah yang dapat dipetik dari hadits ini sebagai berikut:
1| Keutamaan para wali (kekasih) Alloh
Tetapi siapakah yang disebut wali Alloh?! Mereka adalah setiap hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Alloh, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih. (Yaitu) orang- orang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
(QS. Yunus [10 ]: 62-63)
2| Sifat utama wali Alloh
Sifat mereka adalah melaksanakan kewajiban dan menambahinya dengan perkara sunnah. Oleh karenanya, jangan tertipu dengan penampilan para wali gadungan dari para tukang sihir dan penyimpang yang doyan kesyirikan, kebid'ahan, dan kemaksiatan, sekalipun mereka menampakkan kedigdayaan dan keluarbiasaan, sebab semua itu adalah tipu daya setan.
إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا يَطِيْرُ
وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ قَدْ يَسِيْرُ
وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُوْدِ الشَّرْعِ
فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ بِدْعِيْ
Bila engkau lihat seorang dapat terbang
Dan berjalan di atas lautan
Padahal dia tidak menaati tatanan syari'at
Maka ketahuilah bahwa dia ahli bid'ah yang dimanja.
3| Bahaya menyakiti para wali
Menyakiti para wali Alloh merupakan dosa besar, sebab Alloh menyatakan perang terhadapnya. Maka celakalah orang-orang yang mencela para nabi ( [23] ), para sahabat nabi, dan para ulama salafush shalih. ( [24] )
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.
(QS. al-Ahzab [33 ]: 58)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya (4 /481):
"Barisan yang pertama kali masuk dalam ancaman ayat ini adalah orang-orang yang kafir kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian kaum Rafidhah (Syi'ah) yang biasa mencela para sahabat dan menuduh mereka yang bukan-bukan serta menyifati mereka berlainan tajam dengan sifat yang diberikan Alloh kepada mereka, di mana Alloh memuji mereka dan mengkhabarkan bahwa Dia telah ridha kepada kaum Muhajirin dan Anshar, tetapi orang-orang jahil dan tolol itu mencela dan menghina mereka, dan menuduh mereka yang bukan-bukan. Sungguh mereka adalah manusia yang terbalik hatinya, mencela manusia terpuji dan memuji manusia tercela."
4| Menetapkan "perang" bagi Alloh
Alloh telah menyebutkan juga tentang riba, yang artinya:
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Alloh dan rasul-Nya akan memerangimu."
(QS. al-Baqarah [2 ]: 279)
5| Menetapkan sifat "cinta" bagi Alloh.
6| Perintah Alloh terbagi menjadi dua, ada yang wajib dan ada yang sunnah.
7| Anjuran memperbanyak amalan sunnah.
8| Banyak mengamalkan perkara sunnah merupakan sebab kecintaan Alloh.
9| Sesungguhnya Alloh apabila mencintai seorang hamba, maka Alloh akan mengabulkan do'anya dan memenuhi permintaannya.
10| Seorang hamba akan merasakan dekat kepada Alloh ketika dia beramal shalih.
Demikianlah pembahasan kita kali ini, kami mengajak diri kami dan saudara kami untuk mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh, semoga Alloh menjadikan kita semua termasuk wali-wali-Nya. Amiin.
artikel dari: www.abiubaidah.wordpress.com


Selengkapnya...

7 Desember 2009

Hakikat Tasawuf 3

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim

Sekte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf

(*) Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi' Al Madkhali dalam kitabnya "Haqiqat Ash Shufiyyah" (hal. 18-21),
dengan sedikit perubahan. Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte: Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah 'azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah 'azza wa jalla dengan wujud makhluk/Manunggaling Gusti ing Kawulo - Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu. Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah 'azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia -Maha Suci Allah 'azza wa jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib -Alhamdulillah 'azza wa jalla- pada tahun 309 H. Dan di dalam Sya'ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130): Maha suci (Allah 'azza wa jalla) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)- Nya yang menembus Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk- Nya seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata Dalam sya'ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu 'Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah 'azza wa jalla dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata: Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah 'azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia -menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut. Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena kezindiqannya -sehingga sebagian orang-orang ahli tasawuf menyatakan berlepas diri darinya -, tetap saja ada orang-orang ahli tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul 'Abbas bin 'Atha' Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8 /112). Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah 'azza wa jalla) - maha suci Allah 'azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu 'Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu 'Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus. (Lihat Siar Al A'lam An Nubala' tulisan Imam Adz Dzahabi 16 /354 ) Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal. 43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya: Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)? Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?! Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: "Sesungguhnya orang- orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah." Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu 'Arabi, seperti gelar Al 'Arif Billah (orang yang mengenal Allah 'azza wa jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal orang ini terang- terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun 'alaihi salam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi 'Isa 'alaihi salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan. Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh- tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli tasawuf, yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah. Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham Wihdatul Wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan - yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam 'alaihi salam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam 'alaihi salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini. Kedua, Ibnu 'Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu 'alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya", kemudian Ibnu 'Arabi berkata: "Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang." Kemudian Ibnu 'Arabi berkata: (Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah! dan kepada Allah kembalilah! (Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal. 19). Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, "Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami." Maka dikatakan lagi kepadanya, "Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?" Maka dia menjawab, "Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram." (Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu'ul Fatawa 13 /186 ). Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: "Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada- Nya?!" (Dinukil oleh Abu Nu'aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya' 10 /37 ). Dia juga berkata, "Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku." (Hilyatul Auliya' 10 /35-36). Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh- tokoh ahli tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya 'Ulumud Din ketika dia membicarakan tingkatan- tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, "Dalam Tauhid ada empat tingkatan:...Tingkatan yang kedua: Dengan membenarkan makna lafadz di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: Mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah 'azza wa jalla ) dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di alam semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: Dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli tasawuf dengan sebutan: Al Fana' Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri... Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid. Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia- rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah mencapai tingkatan Ma'rifah berkata bahwa membocorkan rahasia ketuhanan adalah kekafiran. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia." (Lihat kitab Ihya 'Ulumud Din 4 / 241-242 ). Al Ghazali juga berkata, "Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah 'azza wa jalla)." (Ibid 4 /83). Keenam, Asy Sya'rani, seorang tokoh besar tasawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi tokoh- tokoh ahli tasawuf dan kisah- kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang ahli tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali(?) yang bernama Ibrahim Al 'Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2 /124). Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: "Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?" Dan diantara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: "Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!?" (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2 / 129-130 ). Penutup Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini - na'udzu billah min dzalik- seseorang bukannya makin dekat kepada Allah 'azza wa jalla, tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul pertanyaan, "Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati kita?" Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya' fii Tazkiyatin Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah penting ini), karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah 'azza wa jalla, sebagaimana firman Allah: لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Ali 'Imran: 164) Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa kepada Allah 'azza wa jalla, karena semua orang berilmu sepakat mengatakan bahwa: "Penghalang utama yang menghalangi seorang manusia untuk dekat kepada Allah 'azza wa jalla adalah (kekotoran) jiwanya." (Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul Lahafan dan Al Fawa'id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al 'Asy'ari radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً... الحديث "Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi..." (HSR Imam Al Bukhari 1 /175 - Fathul Bari dan Muslim no. 2282) Semoga tulisan ini Allah 'azza wa jalla jadikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang yang membacanya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.

Sumber: Muslim.or.id
Selengkapnya...

Hakikat Tasawuf 2

Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah


(*) Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya "Haqiqat At Tashawwuf", pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al 'Ibadah wa Ad Din (hal. 17-38) dengan sedikit perubahan.
Orang-orang ahli tasawuf - khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja' (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, "Aku beribadah kepada Allah 'azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?" Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja - sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf-, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja', dzull (penghinaan diri), khudhu' (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain.
Salah seorang ulama Salaf berkata: "Barang siapa yang beribadah kepada Allah 'azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji'ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah 'azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada Allah 'azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)." Oleh karena itu Allah 'azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul- Nya, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Kebanyakan orang- orang yang menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid'ah berupa sikap zuhud dan ibadah- ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya." (Kitab Al 'Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [hal. 90], cet. Darul Ifta', Riyadh).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.
Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan- pimpinan mereka, berupa thariqat-thariqat bid'ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita- cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah 'azza wa jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka."
Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah 'azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan "zikirnya orang-orang khusus."
Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan "zikirnya orang-orang umum", maka kalimat (Laa Ilaha Illallah) menurut mereka adalah "zikirnya orang-orang umum", adapun "zikirnya orang-orang khusus" adalah kata tunggal "Allah" dan "zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus" adalah kata (Huwa/Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal "Allah", serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah 'azza wa jalla:
قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
"Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya." (QS. Al An'aam: 91)
(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata "Allah" dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, yaitu yang Allah 'azza wa jalla dalam firman-Nya:
وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَى بَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُوراً وَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيراً وَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ
"Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya? Katakanlah: Allah (yang menurunkannya)." (QS. Al An'aam: 91)
Jadi maknanya yang benar adalah: "Katakanlah: Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu 'alaihi wa sallam." (Kitab Al 'Ubudiyyah hal. 117).
Keempat, sikap Ghuluw (berlebih- lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang- orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah 'azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah 'azza wa jalla. Allah 'azza wa jalla berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
"Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)." (QS. Al Maaidah: 55)
Dan Allah 'azza wa jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia." (QS. Al Mumtahanah: 1)
Wali (kekasih) Allah 'azza wa jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah 'azza wa jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah 'azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah 'azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.
Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama'ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah 'azza wa jalla. Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai "wali" melebihi kedudukan para Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam Barzakh
Sedikit di atas Seterusnya
Selengkapnya...